PENDEKATAN ANALISIS TRANSAKSIONAL
A. PENDEKATAN DAN TOKOH
Analisis transaksional
memandang bahwa manusia sebenarnya adalah semuanya OK, yang berarti bahwa
manusia perilakunya mempunyai dasar yang menyenangkan dan mempunyai potensi
serta keinginan untuk mengaktualisasikan diri
Eric Berne lahir 10 Mei 1910 di Montreal, Quebec, Kanada, Leonard Bernstein,
anak Daud Hiller Bernstein, MD, seorang dokter umum, dan Sarah Gordon
Bernstein, seorang penulis profesional dan editor.Satu-satunya saudara, Grace
adiknya, lahir lima tahun kemudian.Keluarga berimigrasi ke Kanada dari Polandia
dan Rusia. Kedua orang tua lulus dari McGill University, dan Eric, yang
dekat dengan ayahnya, berbicara sayang tentang bagaimana dia menemani ayahnya,
seorang dokter, pada putaran medis. Dr Bernstein meninggal karena tuberkulosis pada usia 38. Mrs
Bernstein kemudian didukung dirinya dan kedua anaknya bekerja sebagai editor
dan penulis. Dia mendorong Eric untuk mengikuti jejak ayahnya dan
obat-obatan studi. Dia menerima MD dan CM (Master of Bedah) dari McGill
University Medical School pada tahun 1935.
B. KONSEP DASAR
1.
Menganggap segala sesuatu yang
terjadi pada diri individu adalah baik-baik saja
2.
Memunculkan manifestasi dan pola perilaku dalam transaksi antara
konselor dan klien
3.
Menentukan peran dan
karakteristik ego setiap orang dan memastikan informasi diri dalam transaksi
itu.
Analisis transaksional adalah suatu system terapi yang berlandaskan teori
kepribadian yang menggunakan tiga pola tingkah laku atau perwakilan ego yang
terpisah; orang tua, orang dewasa dan anak.
4.
Scenario scenario kehidupan dan posisi psikologi dasar. Adalah ajaran
ajaran orang tua yang kita pelajari dan putusan putusan awal yang dibuat oleh
kita sebgai anak dewasa.
5.
Kebutuhan manusia akan belaian.
Pada dasarnya setiap manusia memerlukan belaian dari orang lain, baik itu yang
berlainan dalam bentuk fisik maupun emosional.
C. ASUMSI PERILAKU BERMASALAH
Menolak konsep adanya sakit mental pada setiap
manusia. Perilaku bermasalah hakekatnya terbentuk karena adanya rasa tidak
bertanggung jawab terhadap keputusannya.
D. TUJUAN KONSELING
1.
Membantu klien agar dapat
mengatur egostatenya agar berfungsi pada saat yang tepat
2.
Klien dapat mengkaji
keputusan yang dibuat dan membuat keputusan baru atas dasar kesadaran
3.
Klien dibantu untuk menjadi bebas dalam berbuat, bermain, dan menjadi
orang mandiri dalam memilih apa yang mereka inginkan.
4.
Teknik-teknik daftar cek, analisis script atau kuisioner digunakan
untuk mengenal keputusan yang telah dibuat sebelumnya.
5.
Klien berpartisipasi aktif dalam diagnosis dan diajar untuk membuat
tafsiran dan pertimbangan nilai sendiri.
6.
Teknik konfrontasi juga dapat digunakan dalam analisis transaksional
dan pengajuan pertanyaan merupakan pendeatan dasar. Untuk berlangsungnya
konseling kontrak antara konselor dan klien sangat diperlukan.
E. PERAN KONSELOR
1.
Konselor berperan sebagai guru,
pelatih dan narasumber
2.
Sebagai guru, konselor
menerangkan konsep-konsep seperti analisis struktural, analisis transaksional
analisis skenario, dan analisis permainan
3.
Sebagai pelatih, konselor
mendorong dan mengajari agar klien mempercayai ego dewasanya sendiri.
4.
Membantu klien dalam hal
menemukan kondisi masa lalu yg tdk menguntungkan
5.
Menolong klien mendptkan
perangkat yg diperlukan untuk mendptkan perubahan
6.
Tugas kunci konselor adalah
menolong klien untuk menemukan kekuatan internal guna mengambil keputusan yg
cocok
F. DESKRIPSI PROSES KONSELING
AT bertujuan membantu Klien mengembangkan status
egonya sehingga dapat berfungsi lebih baik dengan cara menganalisa transaksi
yang dilakukannya. Proses Konseling dalam AT ini dilakukan bahwa setiap
transaksi dianalisis, Klien yang nampaknya mengelakkan tanggung jawab diarahkan
untuk mau menerima tanggung jawab pada dirinya.
Sehingga Klien dapat menyeimbangkan Egogramnya,
mendefinisikan kembali skiptnya, serta melakukan instrospeksi terhadap games
yang dijalaninya..
Menurut Harris, proses konseling AT pada bagian pendahuluan digunakan untuk menentukan kontrak dengan klien, baik mengenai masalah maupun tanggung jawab kedua pihak. Pada bagian kedua baru mengajarkan Klien tentang ego statenya dengan diskusi bersama Klien ( Shertzer & Stone, 1980 : 209).
Kontrak bagi Dusay (Cosini, 1984 : 419 ) adalah berbentuk pernyataan klien – terapis untuk bekerja sama mencapai tujuan dan masing-masing terikat untuk saling bertangung jawab, karena terapist bukanlah pula orang yang menanti mukjizat terapist. Kontrak dalam AT menurut Dusay mencakup 4 (empat) Komponen:
1. Salling menyetujui, yakni terjadinya persetujuan dalam keadaaan ego state dewasa antara Klien – terapist untuk melakukan perubahan yang spesifik.
2. Kompetensi, yakni kesediaan terapist untuk memberikan layanan yang menggunakan kompetensi yang dimilikinya, yakni merobah dan mengatasi persepsi klien yang salah atas diri dan lingkungannya. Kontrak untuk hidup sehat dan panjang umur berada diluar jangkauan kompetisiterapist
3. Tujuan yang legal, adalah menyangkut materi dan tujuan dari kontrak yang bersifatlegal.
4. Konpensasi yakni menyangkut imbalan bagi terapist yang telah mengorbankan waktu dan kemampuannya.
Menurut Harris, proses konseling AT pada bagian pendahuluan digunakan untuk menentukan kontrak dengan klien, baik mengenai masalah maupun tanggung jawab kedua pihak. Pada bagian kedua baru mengajarkan Klien tentang ego statenya dengan diskusi bersama Klien ( Shertzer & Stone, 1980 : 209).
Kontrak bagi Dusay (Cosini, 1984 : 419 ) adalah berbentuk pernyataan klien – terapis untuk bekerja sama mencapai tujuan dan masing-masing terikat untuk saling bertangung jawab, karena terapist bukanlah pula orang yang menanti mukjizat terapist. Kontrak dalam AT menurut Dusay mencakup 4 (empat) Komponen:
1. Salling menyetujui, yakni terjadinya persetujuan dalam keadaaan ego state dewasa antara Klien – terapist untuk melakukan perubahan yang spesifik.
2. Kompetensi, yakni kesediaan terapist untuk memberikan layanan yang menggunakan kompetensi yang dimilikinya, yakni merobah dan mengatasi persepsi klien yang salah atas diri dan lingkungannya. Kontrak untuk hidup sehat dan panjang umur berada diluar jangkauan kompetisiterapist
3. Tujuan yang legal, adalah menyangkut materi dan tujuan dari kontrak yang bersifatlegal.
4. Konpensasi yakni menyangkut imbalan bagi terapist yang telah mengorbankan waktu dan kemampuannya.
Setelah kontrak ini selesai, baru kemudian terapist bersama klien menggali ego state dan memperbaikinya sehingga terjadi dan tercapainya tujuan konseling.
G. TEKNIK KONSELING
Dalam
AT konseling diarahkan kepada bagaimana klien bertransaksi dengan
lingkungannya. Karena itu, dalam melakukan konseling ini, terapist memfokuskan
perhatian terhadap apa yang dikatakan klien kepada orang lain dan apa yang
dikatakan orang lain kepada klien. Untuk itu, teknik yang sering digunakan
dalam AT diantaranya adalah analisis struktur, analisis transaksional, analisis
skript, dan analisis mainan.
1.
Analisis Struktur
Analisis
struktur maksudnya adalah analisis terhadap status ego yang menjadi dasar
struktur kepribadian klien. Analis hendaknya bisa mengenal 1) apakah klien
menggunakan ego state tertentu, 2) apakah ego state klien, normal,
terkontaminasi atau eksklusif, dan 3) bagaimanakah energi egogram klien
tersebut.
Dengan
mengetahui struktur ego state klien, akan diketahui masalah yang dihadapi klien.
Bila klien dominan menggunakan ego state A masalah yang dihadapinya kurngnya
rasa pecaya diri atau dipandang rendah o rang lain. Bila O yang domninan maka
klien tengah ditakuti, dijauhi, disishkan atau diasingkan orang lain.
2.
Analisis transaksional
Transaksi
antara konselor – klien pada hakekatnya adalah tranasksi antar status ego
keduanya. Konselor menganalisa status ego yang terlihat dari respons atau
stimulus klien. Dengan orang lain Baik dari kata-kata yang diungkapkan klien,
maupun dengan bahasa non verbal. Data atau informasi yang diperoleh dari
transaksi dijadikan konselor untuk bahan analisis atau problem yang dihadapi
klien.
3.
Analisis Mainan
Analisis
mainan adalah analisis hubungan transaksi yang terselubung antara Klien dengan
konselor atau dengan Lingkungannya. Mungkin Klien dalam transaksinya sering
mengumpulkan “kupon emas atau kupon Coklat” (perasaan menang atau perasaan
kalah). Bila klien dalam games sering berperan sebagai pemenang, maka ada
kemungkinan ia menjadi amat takut sewaktu-waktu akan menerima kopon cokelat
yang banyak.
4.
Analisis Skript
Analisis
Skript ini merupakan usaha terapist yang terakhir, dan diperlukan mengenal
proses terbentuknya skript yang dimiliki klien. Analisis skript ini hendaknya
sampai menyelidiki transaksi seseorang sejak masa kecil dan standar sukses yang
telah ditanamkan orang tuanya.
H. KELEBIHAN DAN KETERBATASAN
·
KELEBIHAN
Dengan
melihat Konsepsi, penekanan, pelaksanaan serta penerimaan pada klien, maka ada
beberapa kebaikan dari AT:
a.
Punya Pandangan Optimis dan Realistis tentang Manusia. Seperti telah disebutkan
pada bab terdahulu, AT memandang manusia dapat berubah bila dia mau. Manusia
punya kehendak dan kemauan. Kemauan inilah yang memungkinkan manusia berubah,
tidak statis. Sehingga manusia bermasalah sekalipun dapat berubah lebih baik,
bila kemauannya dapat tumbuh. Karena itu AT lebih Optimis dan realistis
memandang manusia.Bila kita bandingkan dengan Psikoanalisa, Freud, AT nampak
selangkah lebih maju. Psikoanalisis memandang manusia deterministik.
Perilaku
manusia bagaikan suatu rotasi dari pengalaman masa kecil, kendatipun pengalaman
masa kecil itu tak diingatnya lagi (Unconscious). AT tidak menolak adanya
pengaruh masa kecil ini. Konsepnya tentang skript kehidupan mengakui adanya
kontribusi pengalaman masa kecil atas kehidupan sekarang. Tapi karena manusia
punya kehendak dan kemauan untuk bebas, “pengalaman itu dapat dirubah “
(Shertzer & Stone, 1982, 237).
Skript
kehidupan manusia diakui AT bersisi dua, ada yang negatif dan ada yang dengan nilai-nilai yang diterimanya dari
orang tuanya atau interaksinya dengan lingkungan. Karena skrip itu mempengaruhi
seseorang untuk mengambil kesimpulan, maka keputusan orang itu dapat Oke atau
Tidak Oke terhadap diri dan lingkungannya. Hal ini juga lebih realitis dari
konsep Rogers yang memandang manusia baik, rasional dapat dipercaya, dapat
mengubah dirinya lebih baik atau dapat merealisasikan dirinya menjadi makhluk
Insanul Kamil.
b.
Penekanan Waktu Sekarang dan Di sini. Tujuan pokok terapi AT adalah mengatasi
masalah klien agar dia punya kemampuan dan memiliki rasa bebas untuk menentukan
pilihannya. Untuk mengatasi masalah klien itu, AT berusaha membangkitkan
kemauan dan kemampuan orang dengan melakukan analisis interaksinya dengan orang
lain. Hal ini dimulai dengan mennganalisis interaksinya dengan terapist.
Analisis seperti di atas, analisis interaksi klien dengan terapist atau orang
lain, adalah persoalan interaksi sekarang. Kini dan di sini (here and now).
Metoda
analisis struktur, status ego dengan egogram, analisis permainan semuanya
merupakan analisis terhadap perilaku yang di tampilkan klien pada saat ini, di
sini di hadapan konselor. Kalau analisis itu (struktur, ego state, dan mainan)
tidak mencapai hasil baru AT menggunakan analisis skrip, yang orientasinya pada
masa lalu. Alternatif ini dipergunakan AT sebagai cara terakhir, bila analisis
sebelumnya gagal merenggut hasil
c.
Mudah Diobservasi.Banyak teori yang lahir dibelakang labor ilmiah, tak
terkecuali untuk teori-teori Psikologi. Pada umumnya teori yang muncul dari
laboratorium itu sulit diamati karena itu terlihat abstrak, sehingga
kadang-kadang tak jarang pula yang hanya merupakan konstruk pikiran manusia
penemunya.
Berbeda
dengan AT, ajaran Berne tentang status ego ( O, D dan A) adalah konsep yang
dapat diamati secara nyata dalam setiap interaksi atau komunikasi
manusia.Status ego Berne jauh lebih observable dari teori Freud mengenai Id,
Ego dan Super Ego, yang hanya dapat dijadikan konstruk pikiran kita atas
perilaku seseorang. Lain dengan Ego Orang tua, Dewasa dan Anak, dia dapat
diamati secara jelas tanpa menggunakan laboratorium. Begitu juga dengan sikap
dasar manusia yang memilah manusia atas 4 posisi (saya tidak oke-kamu yang oke,
saya dan kamu tidak oke, saya oke-kamu tidak oke, dan saya dan kamu oke) yang
dikembangkan Harris, jauh lebih maju dari konsep karen Horney yang hanya
mengemukakan 3 disposisi manusia. Helpless (minta pertolongan), hostility
(menyerang) dan issolation (mengasingkan diri) (Bischof, 1970, 212).
Horney
membagi 3 disposisi ini dari sudut orang lain. Helpless, punya arah gerak
kepada orang lain (Moving toward people). Menyerang merupakan arah menentang
orang lain (moving againts people), sedangkan isolasi punya arah melarikan diri
dari orang lain (moving away from people).Sedangkan Harris membagi sikap dasar
manusia itu atas dasar pandangan terhadap diri sendiri dan orang lain. Karena
itu, konsep ini lebih maju dari Horney yang hanya melihat dari orang lain saja,
pandangan terhadap diri sendiri juga mempengaruhi hubungan dengan orang lain.
d.
Meningkatkan Keterampilan Berkomunikasi
Fokus AT terpusat pada
cara bagaimana klien berinteraksi, maka treatment juga mengacu pada interaksi,
cara bebicara, kata-kata yang dipergunakannya dalam berkomunikasi. Analisis
terhadap interaksi klien pada ruangan konseling, memberi kesempatan kepada
klien untuk memperbaiki cara interaksinya dan komunikasinya baik di dalam
ruangan Konseling. Karena itu, AT tidak hanya berusaha memperbaiki sikap, persepsi,
atau pemahamannya tentang dirinya tetapi sekaligus mempunyai sumbangan positif
terhadap keterampilan berkomunikasi dengan orang lain. Hal semacam ini tidak
dimilliki oleh pendekatan lainnya.
·
Kelemahan
Disamping
decak kagum orang atas ajaran Berne ini, yang telah berhasil merekrut
teori-teori komunikasi kelapangan psikologi, bukanlah berarti teori ini tidak
punya kelemahan, banyak kritik dilontarkan pada AT, diantaranya :
a.
Kurang Efisien terhadap Kontrak Treatment
AT
mengharapkan, kontrak treatment antara konselor-klien harus terjadi antara
status ego Dewasa-dewasa. Artinya menghendaki bahwa klien mengikat kontrak
secara realistis, sebagai orang yang membutuhkan pertolongan.
Tetapi dalam kenyataannya, cukup banyak ditemui bahwa banyak klien yang punya anggapan jelek terhadap dirinya, atau tidak realistis. Karena itu, sulit tercapainya kontrak, karena ia tidak dapat mengungkapkan tujuan apa yang sebenarnya diinginkannya. Sehingga memerlukan beberapa kali pertemuan. Hal semacam ini dianggap tidak efisien dalam pelaksanaannya.
Tetapi dalam kenyataannya, cukup banyak ditemui bahwa banyak klien yang punya anggapan jelek terhadap dirinya, atau tidak realistis. Karena itu, sulit tercapainya kontrak, karena ia tidak dapat mengungkapkan tujuan apa yang sebenarnya diinginkannya. Sehingga memerlukan beberapa kali pertemuan. Hal semacam ini dianggap tidak efisien dalam pelaksanaannya.
b.
Subyektif dalam Menafsirkan Status Ego.
Apakah
ungkapan klien termasuk status Ego Orang tua, Dewasa, atau Anak-anak merupakan
penilaian yang subyektif. Mungkin dalam hal yang ekstrim tidak ada perbedaan
dalam menafsirkannya. Tapi bila pernyataan itu mendekati dua macam status ego
akan sulit ditafsirkan, dan mungkin berbeda antara orang yang satu dengan yang
lainnya. Kesalahan atau perbedaan dalam menafsirkan status ego ini telah
dibuktikan oleh Thomson dalam Dusay (Corsini, 1984) yang telah merekam suatu
wawancara konseling, kemudian kepada konselor dan calon konselor AT disuruh
menganalisis wawancara itu dari 3 macam status ego. Hasilnya memperlihatkan
adanya perbedaan penafsiran diantara konselor dan calon konselor tadi.
Di
pihak lain error dari pihak klien mungkin pula muncul kepermukaan. Secepat ia
memasuki ruangan konseling secepat itu pula terjad perubahan pola
komunikasinya. Interaksinya diluar ruangan konseling tidak sama dengan didalam
ruangan konseling. Bisa diluar lebih baik dengan menampilkan status ego dewasa,
tapi di dalam ruangan konseling lebih banyak menampilakn status ego Anak-anak.
Latar
belakang kebudayaan serta bahasa sangat mempengaruhi pemahaman mengenai status
ego ini. Karena itu analisis terhadap status ego ini bila antara konselor
dengan klien punya latar belakang kebudayaan dan bahasa yang sama. Dan adalah
sangat sulit terciptanya penafsiran yang sama pada masyarakat yang punya strata
sosial berbeda, paternalis dsb. Perbedaan dalam memahami status ego ini,
menyebabkan sulitnya kesamaan dalam menakar egogram klien.
c.
Kurang Petunjuk Mengenai Tingkah laku Konselor
Bagi
orang yang ingin mempraktikkan AT ini perlu petunjuk bagaimana menganalisis
transaksi itu secara tepat dan hemat. Termasuk persoalan bentuk-bentuk
responsnya, dan konten dari ungkapan klien. Mungkin di atas telah disebutkan
adanya analisis struktur, permainan, Skrip dengan penggunaan beberapa teknik,
namun teknik mana yang dipakai dalam menganalisis itu tidak / belum
dikembangkan secara khusus dalam teori AT ini. Karena belum adanya petunjuk
khusus ini, orang menganggap AT kurang terinci, karena tidak ada petunjukanya
I.
CONTOH PENERAPAN
Secara
rasional, keberhasilan AT di klinik-klinik Psikoterapi mungkin sekali kita
rekrut ke sekolah. Malah kita lebih optimis lagi, karena dapat mengamati
langsung perubahan klien di luar ruangan konseling. Betapa tidak, titik sentral
dari analisisnya terletak pada transaksi. Selama klien masih berada di sekolah,
selama itu pula kita dapat menganalisis transaksinya baik dengan temannya atau
gurunya.
Lebih optimis lagi, bahwa
AT dapat berhasil bila digunakan sebagai penyuluh kelompok. Karena orang yang
sehat kreteria AT adalah yang punya perasaan bebas untuk menentukan pilihannya.
Transaksi yang digunakan adalah terciptanya transaksi antar status ego Dewasa.
Kemungkinan tumbuh dan berkembang transaksi antar ego Dewasa ini lebih besar
dengan teman sebaya. Jadi kondisi ini memungkinkan konselor menerapkan AT
sebagai penyuluh kelompok di sekolah.
Kondisi
sekolah yang menunjang penerapan AT sebagai pendekatan penyuluhan kelompok ini,
justru sebaliknya bagi penyuluh individual. Harapan agar komunikasi atau
transaksi antara konselor – klien dapat terbentuk transaksi antara ego state
dewasa-dewasa, justru sulit terbina. Karena adanya jarak antara Konselor dengan
Klien. Jarak itu adalah faktor usia. Konselor lebih cenderung jauh lebih tua
dari klien yang siswa ( 12 – 15 untuk SMTP, 15 – 19 tahun untuk SMTA). Karena
itu transaksi yang mungkin sering muncul adalah antara ego state Dewasa
(Konselor) – Anak-anak (Pada siswa).
Kondisi
ini ditopang oleh faktor budaya kita. Indonesia sebagai bangsa yang
berlandaskan pada Pancasila bukanlah negara yang berfaham Liberal. Adat dan
sopan santun ketimuran selalu melengket pada masyarakat Indonesia. Cara
berbicara dengan orang yang sama besar atau lebih kecil tidak sama dengan cara
berbicara dengan orang yang dihormati dan atau lebih besar. Pada beberapa
daerah, bahasa yang digunakanpun juga berbeda, lebih halus dan lembut. Karena
itu, keberhasilan AT pada masyarakat Amerika yang egaliter belim tentu bisa
sama dengan masyarakat kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar